Sulitnya Menyediakan Rumah Murah di Jakarta

Sulitnya Menyediakan Rumah Murah di Jakarta

Clara Wresti | TI Produksi | Senin, 28 Februari 2011 | 03:55 WIB
KOMPAS.com - Masalah rumah bagi warga miskin di Jakarta tak semudah membalikkan telapak tangan. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo nyaris angkat tangan jika sudah berhubungan dengan masalah ini. Pasalnya, selain mahalnya harga lahan di Jakarta dan sulitnya pembebasan lahan, warga miskin pun sulit diajak untuk pindah ke rumah yang telah disediakan Pemerintah.

”Coba tanya ke warga-warga yang tinggal di bantaran kali. Mereka mana mau pindah dari sana. Mereka memilih untuk tetap kebanjiran daripada pindah. Paling lama banjir cuma satu minggu dalam setahun, bersih-bersih sedikit, rumah sudah nyaman lagi dihuni,” kata Fauzi menirukan ucapan warga di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Dalam membangun rumah rakyat, Fauzi mengatakan harus melihat sasarannya siapa dulu. Program 1.000 Tower yang digulirkan Pemerintah Pusat dengan harga Rp 144 juta per unit sepertinya mudah dilakukan. ”Harganya terlihat masuk akal. Apalagi saat diluncurkan langsung terjual habis. Tetapi coba lihat siapa yang beli rusun-rusun itu, sama tidak dengan sasaran awalnya,” kata dia.

Rumah susun sederhana milik (rusunami) seharga Rp 144 juta hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang mempunyai akses untuk mendapatkan kredit bank. Sementara warga DKI Jakarta yang membutuhkan rumah adalah warga berpenghasilan tidak tetap yang tentu saja tidak bisa mendapatkan kredit bank.

Menurut Fauzi, yang dibutuhkan DKI Jakarta adalah rumah susun bagi nelayan, buruh pelabuhan, pekerja serabutan, dan yang tidak mempunyai penghasilan tetap.

”Yang efektif untuk menolong orang adalah secara kepemilikan berjenjang. Seperti Buddha Tzu Chi yang dibangun untuk masyarakat nelayan di Cengkareng. Mereka hanya bayar Rp 3.000 per hari untuk perawatan,” ujar Fauzi.

Dengan harga yang masuk akal dan dibayar per hari, target pekerja informal bisa tercapai. ”Harga Rp 3.000 adalah harga subsidi. Seharusnya biaya perawatan memakan biaya Rp 12.000 per hari per unit. Jadi subsidinya cukup besar. Di sini ada klinik dan sekolah, sanitasi, serta tidak melorot terus kualitasnya,” ujarnya.

Kepemilikan secara berjenjang, yakni awalnya warga hanya menyewa rumah itu secara harian. Setelah warga menyadari ada pengeluaran untuk rumah yang harus disisihkan dari penghasilannya, baru diperbolehkan membeli rumah itu.

Namun, untuk kepemilikan itu pun harus ada penilaian dulu. Jika memang dia terlihat baik, mau merawat rumahnya, dan pembayarannya lancar, baru boleh ditawarkan untuk membeli secara kredit.

Dengan cara ini, Pemerintah tidak ada lagi ”diperdaya” oleh warga, seperti yang terjadi di rumah susun Bidaracina. Rusun yang dibangun untuk menampung warga yang tinggal di bantaran Kali Ciliwung itu akhirnya ditempati oleh warga yang bukan menjadi sasaran awal. Setelah satu-dua tahun menempati rusun itu, pemiliknya menjual kepada orang lain.

”Kami tidak tahu ke mana perginya, bisa saja kembali ke bantaran kali. Akibatnya, sasaran jangka panjang, yakni membenahi bantaran kali juga tidak tercapai,” kata Fauzi. (Clara Wresti)

sumber : http://properti.kompas.com/read/2011/02/28/03554565/Sulitnya.Menyediakan.Rumah.Murah.di.Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar