Rumah Bambu Menjawab Lindu

Yang hadir di Jenggala seperti sepakat bahwa inilah momentum melirik kembali rumah-rumah berbahan materi lokal dan yang terbukti bisa tahan terhadap gempa. Pilihan jatuh pada bambu. Kalau berbahan kayu, cenderung langka, mahal, dan kurang lestari. Di berbagai daerah terbukti rumah bambu yang sudah jadi pilihan lokal sejak dulu tidak roboh dihajar gempa. Di Jepang yang langganan gempa, dinding bangunan dan rumah tinggal biasa memanfaatkan lapisan kertas dan bambu sebagai material utama. "Bangunan dengan bahan bambu lebih kuat, itu ke-arifan lokal yang perlu dipelajari dan diacu," kata guru besar Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, Gunawan Tjahyono.

Bambu juga menjadi pilihan praktis. Palang Merah Indonesia (PMI) memilih rumah bambu untuk hunian sementara korban gempa. Di Sukamanah, Jawa Barat, misalnya, PMI akan membangun 187 unit rumah bambu menggantikan rumah-rumah tembok yang roboh akibat lindu. Rumah yang dibangun berukuran 4 x 6 meter berdinding bambu dan dapat menampung satu keluarga atau lima orang.

PMI sendiri punya program membangun 3.000 rumah bambu untuk disebar di sejumlah lokasi bencana gempa Jawa, seperti Tasikmalaya, Cianjur, Kabupa-ten Bandung, dan Garut. Program ini dirancang setelah belajar dari pengalaman saat gempa besar di Yogyakarta pada 2006. Rumah bambu dapat dibangun cepat dan murah serta memberi rasa aman bagi korban yang masih mengalami trauma akibat gempa-mereka masih takut tinggal di rumah bata.

Rumah bambu memang mampu meredam gempa karena sifat bahannya yang ringan, juga struktur sambungannya yang tidak kaku. "Bisa bergerak mengikuti guncangan, menyerap energi gempa," ucap Yu Sing, arsitek dari Bandung yang dikenal sebagai perancang rumah murah.

Soal teknik? Cukup banyak ahli bambu yang berpengalaman membangun struktur bambu. Jatnika, perajin rumah bambu Jawa Barat, misalnya, menggunakan tali dari ijuk untuk menyambung antarbambu. "Konstruksinya diikat," kata Ketua Harian Yayasan Bambu Indonesia itu.

Eko Prawoto, arsitek yang mengembangkan konstruksi bambu, menggunakan baut 12 milimeter selain ijuk untuk menyambung antarbambu. Baut dipasang pada bambu yang sudah dibor, kemudian dipasang mur di baliknya. Bambu punya rongga sehingga harus hati-hati agar tidak pecah.

Untuk menjamin kekuatan bambu, dua hal wajib diperhatikan: waktu tebang bambu dan teknik pengawetan. Soal ini Jatnika meyakini pengetahuan lokal diperolehnya dari orang-orang tua. Waktu penebangan tidak boleh sembarangan agar mendapatkan bambu yang tahan lama. Setidaknya ada tiga pantangan menebang bambu, yakni pagi hari, pada musim hujan-saat tunas bambu muncul-dan hari setelah malam purnama. Pada waktu itu kadar air dan gula dalam bambu sangat tinggi. "Itu membuat bambu rentan hama atau cepat lapuk," Jatnika menjelaskan.

Bambu yang akan digunakan untuk material perlu diawetkan terlebih dulu. Caranya, bambu diletakkan dalam posisi berdiri selama sebulan. "Agar air dan gulanya turun," kata Jatnika. Agar optimal, sesudahnya, batang-batang itu direndam dengan air kapur campur garam dan belerang, kemudian diletakkan lagi. Cara yang lebih kiwari dengan pemberian air boraks. Dengan mematuhi teknik itu, Jatnika menjamin rumah bambu bisa tahan lama. "Di Sukabumi ada rumah bambu yang 27 tahun belum rusak," kata Jatnika, yang sudah menekuni usaha membangun rumah bambu sejak 1975.

Jenis bambu beragam dan peruntukannya pun berbeda-beda. Untuk tiang biasanya digunakan bambu petung (Dendrocalamus asper). Diameternya bisa mencapai 16 sentimeter. Untuk kuda-kuda dipilih bambu gombong (G. pseudoarundinacea widjaja) dengan diameter 12 sentimeter. Batang bambu dianggap siap pakai setelah berumur lima tahun. Kedua jenis bambu itu banyak tumbuh di tanah Indonesia. Ketika membangun rumah, pohon bambu pun ditanam, sehingga nantinya bisa digunakan sebagai bahan bangunan. Rumah bambu pun jadi lestari.

Desain rumah bambu kian berkembang. Ada memang rumah tradisional yang seluruhnya menggunakan bambu, beratap ijuk, dan biasanya berbentuk rumah panggung. Namun ada yang semimodern, separuhnya adalah bangunan tembok. Bagian bawah menggunakan batu bata, batu kali, atau batako, baru bagian atas menggunakan bambu. Biasanya atapnya genting. Selain itu, ada rumah bambu untuk koleksi. "Itu yang menggunakan bambu-bambu langka, misalkan yang lengkung-lengkung," kata Jatnika.

Konstruksi rumah bambu tradisional tidak butuh fondasi yang ditanam. Bambu cukup diletakkan di atas tumpak atau tatakan dari batu berpermukaan datar-beton bisa juga digunakan sebagai tumpak. Hal ini dilakukan untuk menghindari pelapukan, yaitu bila bagian bambu bersentuhan langsung dengan tanah. Di rumah tradisional berlantai bambu, permukaan lantai biasanya ditinggikan sekitar setengah meter.

Desain tradisional biasanya diterapkan pada rumah-rumah makan atau gazebo. Rumah untuk tinggal menggunakan desain semimodern. Pada rumah tinggal, konstruksinya dirancang juga untuk menjamin keamanannya. Jatnika biasa membuat dinding ganda, yakni anyaman bambu untuk dinding di sisi luar dan dalam, dan di sela-selanya dikuatkan dengan kawat atau bilah bambu. "Susah dijebol, kecuali dirobohkan," kata Jatnika yang sudah membangun 3.000-an rumah bambu, termasuk di Malaysia.

Sekarang juga dikenal sistem bambu plester, yakni bambu yang dilapisi semen dan kapur sehingga mirip dinding tembok. Ini sekaligus untuk menahan serangan binatang. "Misal di perkampungan padat Jakarta, rayap yang sudah kesulitan makanan juga menyerang bambu," kata Yu Sing.

Yang jelas, biaya pembangunan rumah bambu lebih murah dibanding rumah tembok. Untuk yang tradisional sekitar Rp 1,2 juta per meter persegi dan yang semimodern Rp 1,5 juta per meter persegi. "Itu kualitas kelas satu," kata Jatnika. Sebagai perbandingan, rumah tembok sekarang mencapai Rp 2 juta per meter persegi. Bahkan dengan desain yang sangat sederhana, biaya pembangunan rumah bambu bisa ditekan menjadi Rp 500 ribu per meter persegi.

Sayangnya, rumah bambu sudah banyak ditinggalkan di Indonesia. "Karena persepsi rumah modern itu yang pakai tembok bata," kata Yu Sing. Sekitar 1990 di Gunung Kidul, Yogyakarta, misalnya, masih banyak dijumpai rumah-rumah berdinding bambu anyaman. Satu dasawarsa kemudian, satu per satu rumah dimodernkan dengan bangunan tembok-yang dindingnya retak-retak oleh gempa besar empat tahun lalu.

Namun beruntung mulai ada orang yang punya pertimbangan membangun rumah yang lestari. Dina Agustin Wulandari, misalnya, yang tinggal di rumah bambu di Cibinong, Jawa Barat, bersama suami dan anak-anaknya. "Bukan lagi sekadar ide gila, tapi ide cemerlang, go green," tulisnya dalam situs pribadinya. Dina pun menjual mesin penyejuk udara, karena bambu mampu menyerap panas di siang hari dan melepaskannya pada malam.Harun Mahbub

sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/11/02/ART/mbm.20091102.ART131816.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar